Romeo dan Juliet (Cerita Pendek)

Zaid Alkhair
9 min readDec 31, 2020

--

Photo by frank mckenna on Unsplash

‘Roti dan selai, Romeo dan Juliet, kopi dan senja. Beberapa hal dalam hidup memang ditakdirkan untuk selalu bersama…’ kalimat itu yang akan kalian dengar setiap kali dengerin musik secara gratis di Spotify. Memang membuat kesal sih, tapi gue sedikit senang juga karena ada nama gue disitu. Meski tentunya dengan catatan, karena ternyata Romeo dan Juliet tidak selamanya ditakdirkan untuk selalu bersama.

Kenalin nama gue Romeo. Bukan Romeo yang sering kalian dengar di dongeng romansa kuno, karena itu berbeda. Dia lahir dari keluarga kerajaan yang terpandang. Sedangkan gue, hanya seorang anak pedagang yang setiap pagi bisa sarapan nasi uduk aja udah bersyukur. Meski berbeda secara nasib dan keadaan, ada satu hal yang gue yakin kita sama, yaitu kisah cinta.

Romeo di masa lalu jatuh cinta pada Juliet yang ia temui di pesta kerajaan. Hubungan keduanya tidak berjalan baik karena keluarga Romeo dan Juliet saling bermusuhan. Membuat keduanya harus menjalani hubungan secara diam-diam. Cerita itu nggak berbeda jauh sama apa yang gue alami saat ini.

Jika cinta Romeo pada Juliet di masa lalu terhalang karena keluarga yang saling bermusuhan, cinta gue saat ini terhalang karena tawuran antar sekolah.

Gue sekolah di SMA Maharaja 1 sedangkan Juliet, dia murid sekolah SMA Maharaja 2. Kedua sekolah ini sudah sejak lama saling bermusuhan. Menurut sejarah yang gue baca di perpusatakan sekolah, permusuhan terjadi karena dulu murid dari masing-masing sekolah saling berebut warung indomie Bu’de Jum. Warung Indomie paling enak dan murah saat itu. Hal sepele memang, tapi dari situlah bibit-bibit kebencian tumbuh. Hingga saat ini, kedua sekolah belum mencapai titik damai. Padahal warung yang dulu menjadi rebutan sudah tidak ada. Berubah jadi tempat ibadah yang mana nggak mungkin lagi diperebutkan murid dari masing-masing sekolah.

Masih membekas dalam ingatan gue bagaimana awal dari kisah cinta gue dan Juliet. Saat itu SMA Maharaja 1 sedang mengadakan acara kelulusan untuk anak kelas 12. Sebagaimana lazimnya acara kelulusan, SMA Maharaja 1 mengundang Pamungkas sebagai bintang tamu untuk memeriahkan acara. Acara itu sebenarnya di khususkan untuk anak kelas 12 saja. Tapi karena gue saat itu menjadi bagian dari OSIS dan ditunjuk menjadi panitia acara, ya alhasil gue hadir ke sekolah dan menikmati penampilan Pamungkas dari belakang panggung.

‘Gue heran kenapa cewek-cewek pada nge-fans banget sama dia. Apa kerennya coba cowok pake kemeja motif macan? ditambah lagi rambut gondrongnya itu kayak udah lama nggak di keramas! Kalo di serit sama mbah gue, pasti pada jatuh tuh kutunya!’

Gue yang bosan karena cuman melihat punggung orang berjoget sambil memainkan alat musik, beranjak dan mencari pemandangan yang lebih menyejukan mata. Beruntung cuaca hari ini tidak terlalu panas. Jadi tidak masalah jika berada di luar tanpa menggunakan Sunblock.

Dibalik hijaunya daun pepohonan dan rereumputan pagar belakang sekolah, samar terlihat sosok berambut panjang dengan pakaian putih sedang berjoget.

Dari awal melihat sosok itu, gue udah bisa pastiin itu bukan arwah penasaran yang ceritanya sangat terkenal di SMA Maharaja 1. Itu pasti manusia yang penasaran, lagi pake baju apa Pamungkas waktu tampil di atas panggung.

Gue berjalan mendekat kearah perempuan itu sambil sesekali menendang batu kerikil yang berserakan di tanah. Tujuannya sih supaya perempuan itu sadar ada gue disitu, tapi ternyata usaha gue sia-sia. Dia masih asyik dengan imajinasinya,

“Pamungkas-nya pake baju motif macan mba!” teriak gue keras.

Seketika perempuan itu tersadar dari imajinasinya. Menatap gue beberapa detik, lalu lari terbirit-birit seperti maling yang tertangkap basah sedang mencuri ayam.

“Hey mba kok lari!?” gue ikut berlari menuju tempat dimana sebelumnya perempuan itu berdiri. Dari balik pagar sekolah, gue bisa lihat sepatu Converse hitam bersembunyi di balik rerumputan. “Ini pasti punya perempuan tadi,” kata gue cukup yakin. Saat hendak mengambil sepatu itu, entah sejak kapan perempuan itu kembali.

Gue bingung harus berbuat apa ketika melihat perempuan itu berdiri tepat dihadapan gue. Dari seragam yang ia kenakan, gue bisa pastiin dia murid SMA Maharaja 2. ‘Tapi kenapa dia berani kembali dan berdiri dihadapan gue? harusnya-kan dia tahu sekolah kita saling bermusuhan? dan bukan pilihan yang bijak harus kembali setelah ketahuan hanya karena sepatu Converse hitam?’

“Maaf sepatu saya ketinggalan, ini Ori bukan beli di TU sekolah, jadi sayang kalau di tinggal, permisi..” kata perempuan itu sambil mengambil dan mengenakan sepatunya.

‘Perasaan nggak ada bedanya sama sepatu 90 ribuan yang ada di TU sekolah?’ pikir gue saat itu.

Gue masih terpaku, diam memerhatikan perempuan di hadapan gue. ‘Apa gue harus lapor ke anak-anak yang lain kalau ada anak SMA Maharaja 2 yang diam-diam menikmati acara kelulusan anak kelas 12? atau gue diamkan saja, karena dia ini perempuan yang mungkin juga nggak pernah terlibat dalam pertikaian antar sekolah.’

“Ju..li..et,” kata gue mengeja nama yang tertulis di baju seragamnya.

Perempuan itu menunduk melihat namanya sendiri, “Ada yang aneh sama nama saya?” kata perempuan itu.

“Enggak, cuman unik aja.”

Juliet tersenyum, “Ohh gitu, Kamu nggak akan laporin aku kan?” kata Juliet memohon, tetapi wajahnya tidak menunjukan ketakutan sama sekali.

“Tenang, gue bukan orang yang suka permusuhan!” kata gue. Juliet lalu berpamitan pergi. “Romeo!! nama gue Romeo!!”

Juliet yang sudah berjalan cukup jauh, memalingkan wajah lalu tersenyum. “Seperti kisah dongeng kuno!” balas Juliet. Sejak saat itulah kisah cinta gue dan Juliet dimulai.

Butuh waktu 3 bulan untuk gue bisa menaklukan hati Juliet. Bukan waktu yang singkat jika dibandingkan dengan mantan-mantan gue dahulu. Biasanya gue cuman butuh waktu sekitar 1 bulan untuk bisa meyakinkan setiap perempuan yang akan gue pacari. Kalau dalam waktu sebulan nggak ada perkembangan, biasanya gue tinggal dan beralih ke perempuan lain. Tapi Juliet, entahlah rasanya dia memang pantas untuk diperjuangkan.

2 tahun pertama, gue dan Juliet menjalin hubungan secara diam-diam. Gue nggak mau hal buruk terjadi sama Juliet begitupun sebaliknya. Setahu gue Juliet juga berpikir begitu. Semoga benar.

“Kamu ngerasa nggak sih hubungan kita ini seperti kisah dongeng kuno?” tanya gue pada Juliet.

“Karena kita Romeo dan Juliet?” tanya Juliet balik.

“Itu salah satunya. Tapi yang paling penting, kisah kita sama-sama terhalang 2 kubu yang saling bermusuhan dan selalu berjuang bersama demi sebuah rasa cinta,”

Setiap hari kami harus berjalan masing-masing sejauh 1 Km, untuk akhirnya bertemu dan pulang bersama menggunakan Angkutan umum. Awalnya itu terasa melelahkan tapi jika dipikir kembali, hal itu terbilang romantis apalagi gue nggak punya banyak uang untuk membeli bensin setiap hari. Untuk mengajak jalan Juliet setiap malam minggu saja sudah lumayan menguras dompet.

“Temen kamu nggak ada yang curiga kan, kalau setiap hari kamu pulang jalan kaki?” tanya gue waktu sebulan pertama jadian.

“Awalnya sih curiga, apalagi kan aku sebelumnya selalu di jemput sama supir,” jawab Juliet.

“Terus kamu bilang apa supaya mereka nggak curiga?” tanya gue.

“Ya aku bilang aja, mau hidup lebih sehat dan hemat.”

Gue tersenyum mendengar jawaban Juliet saat itu. Gue kira Juliet sama seperti anak orang kaya pada umumnya. Manja dan tidak mau diajak dalam kesusahan. Tapi ternyata dia berbeda, hampir 2 tahun jalan kaki dan pulang bersama naik angkutan umum, Juliet sama sekali tidak mengeluh. Padahal gue aja setiap sampai rumah selalu minta di pijet.

Selain pulang bersama, malam minggu juga menjadi saat-saat yang romantis antara gue dan Juliet. Sama hal-nya seperti banyak pasangan diluar sana, kami menghabiskan waktu bersama di malam minggu. Karena sadar tidak punya banyak uang untuk mengajak Juliet nongkrong di kafe dan memesan 2 cup boba viral, gue selalu mengajak Juliet duduk di kursi taman alun-alun kota. Di bawah redupnya lampu taman, mengobrol dan bercengkrama tanpa harus memikirkan password Wifi yang nggak tertulis di nota pembelian.

Sebulan awal pertama jadian gue pernah tanya ke Juliet, “Kamu sebelum sama aku biasanya malam minggu gini kemana?”

Juliet jawab, “Nongkrong di cafe sama temen-temen, terus pulangnya nginep di rumah aku, marathon drakor sampai pagi.”

“Kalau sekarang?”

“Ya pastinya pergi sama kamu, pulang, terus nonton series di Netflix kalau belum ngantuk.” Jawab Juliet.

Gue tersenyum, Gue bener-bener nggak nyangka perubahan yang terjadi sama Juliet. Dari yang sebelumnya suka nonton drakor, beralih ke series di Netflix yang biaya langganan sebulannya sama kayak jatah bensin gue.

Gue pernah bilang ke Juliet, “Bahagia itu nggak selalu soal uang. Keberadaan orang disekitar kita saja sudah cukup sebenarnya membuat kita bahagia. Cuman kadang manusia terlalu buta untuk melihat hal itu. Dan menjadikan uang sebagai ‘tuhan’ yang mampu memberi kebahagiaan dan menyelesaikan segala permasalahan.”

“Walaupun uang bukan segalanya, tapi jangan jadiin itu alasan buat kamu nggak kerja keras dan menghasilkan banyak uang. Karena mau nggak mau, setuju atau nggak setuju realitanya uang itu segalanya di dunia ini,” kata Juliet. Gue mengangguk mengiyakan.

Ada benarnya juga perkataan Juliet. Sepertinya orang yang bilang uang bukan segalanya di dunia hanya kata-kata dia saja untuk menutupi kegagalannya. Karena realitanya uang memang membuat hidup seseorang jadi lebih mudah. Mudah untuk membeli makanan, mudah untuk bayar biaya pendidikan dan mudah meyakinkan calon mertua, bahwa anak perempuannya nggak akan hidup dalam kesengsaraan.

“I love you Juliet,” kata gue sambil mencium keningnya yang tertutup poni tipis.

“Love u too,”

Nggak terasa 3 tahun sudah gue menjalin hubungan sama Juliet. 2 tahun menghabiskan masa-masa romantis di SMA dan 1 tahun, menjalin hubungan jarak jauh karena Juliet harus merantau dan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Nggak ada lagi pulang jalan kaki lalu naik angkutan umum dan duduk di bangku taman sambil mengobrol di malam minggu. Sekarang semuanya berubah.

Entah ini hal yang wajar apa nggak dalam hubungan LDR, Juliet selama setahun ini sulit banget untuk di hubungi. Selalu ada aja alasan untuk dia tidak mengangkat telepon atau sekedar membalas pesan What’sApp. Padahal banyak keluh kesah yang ingin gue ceritakan dan sebagai pacarnya, gue juga mau tahu apa yang dia rasakan.

“Nanti aku telpon balik ya, sekarang ini aku lagi sibuk banget ngerjain tugas.” Sanggah Juliet setiap kali gue telpon.

Gue jadi pensaran. Seberapa banyak sih tugas kuliah sampai untuk mengangkat telpon aja nggak bisa? Tapi ya sudahlah, gue yang nggak tahu apa-apa soal kehidupan perkuliahan hanya bisa mengiyakan sambil menunggu balik telpon dari Juliet yang nggak pernah sama sekali gue dapat.

Malam minggu setahun ini juga nggak seromantis dulu saat kita masih SMA. Untuk pergi dan menghabiskan waktu bersama jelas nggak mungkin untuk terwujud jika dalam hubungan jarak jauh seperti ini. Tapi setidaknya gue berharap bisa melihat wajah dia sebelum tertidur dan bermimpi indah. Tapi lagi-lagi, Juliet punya seribu alasan untuk menolak.

“Tapi aku ngantuk banget yang.., lain kali ya nobar series Netflixnya,”

“Kapan? udah beberapa minggu kamu bilang nanti-nanti tapi nggak pernah jadi,” kata gue yang mulia kesal Juliet selalu beralasan.

“Udah dulu ya, kamu jangan maksa aku terus dong. Disini aku juga bukan buat main-main, banyak tugas yang harus aku selesain dan itu lebih penting,”

“Berarti hubungan kita nggak penting lagi buat kamu?”

“Tuh kan kamu mulai lagi, udah ah!” Juliet mematikan teleponnya. Satu jam kemudian gue lihat story-nya di Instagram, dia dan temen-temennya terlihat sedang asyik menonton drakor di TV berukuran 42 inch.

Positive Thinking aja, mungkin biaya langganan Netflix-nya belum di perpanjang,” kata gue sambil melihat Story Juliet berulang kali.

Setahun ini memang sangat terasa Juliet berusaha menjauh. Meski begitu gue nggak mau membenarkan hal yang belum pasti. Kecuali memang dia yang bilang sendiri secara langsung, atau secara tiba-tiba , dia menghilang dan memutus semua jalur gue untuk bisa ngehubungin dia lagi.

Satu bulan berlalu tanpa sekalipun telponan sama Juliet. Gue sama sekali nggak pernah denger lagi suarannya kecuali ketika dia update status di What’sApp atau Instagram. Gue benar-benar merasa ada yang aneh sama hubungan ini. Gue nggak tahu kenapa Juliet tiba-tiba begini. Selama satu bulan dia hanya membalas singkat setiap pesan yang gue kirim. Itupun setelah beberapa jam. “Kayaknya Juliet memang berusaha untuk menjauh,” pikir gue.

Juliet selalu menolak panggilan telpon dari gue. Photo profil What’sApp nya berubah jadi siluet orang berwarna putih dengan background abu. Tanpa status dan tidak terlihat kapan terakhir kali dia membuka What’sApp. Seketika Juliet berubah jadi seorang psikopat.

Dua bulan tanpa sekalipun telponan sama Juliet. Kali ini lebih parah lagi, ia membalas pesan setelah beberapa hari gue kirim. Rasanya semakin aneh saja, gue selalu nanya ke Juliet, “Ada apa sebenarnya?” Juliet jawab, “Nggak ada apa-apa,” begitu terus jawabannya tanpa ada kejelasan yang membuat gue semakin bingung.

Tiga bulan tanpa panggilan telpon dan pesan yang terbalas oleh Juliet. Kayaknya ini akan menjadi akhir dari kisah cinta gue dengan Juliet. Meski tidak secara formal diputuskan, gue cukup sadar diri dengan tanda-tanda yang diberikan. Juliet ingin hubungan ini berakhir.

Empat bulan tanpa sekalipun gue berhubungan dengan Juliet. Entah sejak kapan nomor Whats’App dan akun Instagram gue di block sama Juliet. Dengan begitu kesempatan gue untuk bisa ngehubungin dia udah nggak ada. Padahal gue mau bilang terimakasih telah menjadi bagian dari perjalanan cinta gue. Tapi ya sudahlah, cerita sudah berakhir dan harus diakhiri dengan kata..

THE END

--

--

No responses yet